WINDOWS VISTA

Gates: 140 Juta Copy Vista Terjual

Bill Gates, Chairman Microsoft, mengatakan bahwa sistem operasi Windows Vista telah terjual sebanyak 140 juta copy di seluruh dunia. Namun demikian, pendiri Microsoft tersebut tidak menyebutkan software yang terjual tersebut berupa lisensi, retail copy, atau kombinasi keduanya.

Hingga akhir tahun lalu, Microsoft mengklaim sistem operasi Vista telah menembus angka penjualan 100 juta copy. Artinya Microsoft mampu menjual sekitar 10 juta copy Vista per bulan sejak diluncurkan.

Walaupun penjualan Vista cukup potensial, sebagian pelanggan Microsoft belum berniat migrasi ke sistem yang baru. Bahkan sebanyak 160.000 orang telah menandatangani petisi online yang mempertanyakan nasib sistem operasi Windows XP. Masalahnya, Microsoft menargetkan masa edar XP akan berakhir pada 30 Juni mendatang. Sementara itu, Dell, HP, dan Lenovo tetap akan memasarkan XP yang dibundel dengan produk PC mereka hingga batas waktu tersebut.


HAIKING

HAIKNG ADALAH jenis kegiatan yang dilakukan dengan cara mendaki sebuah gunung yang ketinggiannya mencapai 5000 - 8000 m dari permukaan laut. kegiatan ini biasanya dilakukan oleh seorang pecinta alam

KARABINER

KARABINER

Pendaki bukanlah amorpati
Pendaki bukan pula cari mati
Tak ada
Tak ada yang bisa mengerti
Kenapa jadi pendaki
Pendaki adalah berusaha 'tuk mengerti
Akan arti dari hidup ini
Pendaki adalah berusaha 'tuk mengerti
Akan hasrat jiwa bumi
Rasakan sejuknya
Nikmati keanggunannya
Dan
Bacalah keagungan-NYA
Gerayangi para ancala yang bertebaran
Karena dia suka belaimu
Tapi
Berapa banyak ancala yang merintih sedih?
Berapa banyak ancala yang mengaum garang?
Dan
Pati-pati pun s'makin dekat
Karena dia tak mau dirusak oleh pendaki tadi pagi

MAMET HAIKING

MAMET HAIKING
SALAM RIMBA..........

Daftar Blog Saya

SEMUA TENTANG MADURA

CeluriiiiiiiTTTTTT

Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.

Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura.

Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.

Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.

Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.

Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.

Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan.

Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam. Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.

Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto.

Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.

Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.

Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. &quotKalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun.

Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang. Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.

Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000.

Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan.

Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.

Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan Hasanuddin Buchori. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya.

Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit.

Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.

Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu.

Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu.

Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengan nyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.

Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi Imron dalam puisi berjudul Celurit Emas: Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kuucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu.(ANS/Soedjatmoko dan Bambang Triono)

JATIM pantas bangga mempunyai Pulau Madura sebab selain penghasil
garam juga menyimpan banyak potensi wisata. Tapi Pemda setempat masih
harus kerja keras jika potensi itu ingin dijadikan komoditas.
Kekayaan objek dan atraksi wisata yang ada di Madura masih perlu
dikemas menjadi paket wisata menarik. Pantai yang mengitari pulau itu
merupakan salah satu potensi yang bisa dikemas menjadi paket wisata
menarik itu.
Pantai-pantai potensial itu di antaranya Siring Kemuning di Kab.
Bangkalan; Camplong, Nipah, serta air terjun Toroan di Kab. Sampang;
Talangsiring, dan Jumiang di Kab. Pamekasan, serta Slopeng dan Lombang
di Kab. Sumenep.Sayangnya dari sejumlah pantai itu baru Pantai
Camplong yang dikelola dengan baik. Tempat wisata yang terletak
sekitar 10 km timur Kota Sampang itu telah dilengkapi pondok wisata
dengan 16 kamar VIP dan rumah makan.
Ongkos sewa kamar pondok wisata di Camplong berkisar Rp 25 wisata-Rp
50 ribu untuk tempat tidur tunggal. Sedangkan untuk tempat tidur ganda
berkisar Rp 28,5-Rp 55 ribu.
Taman wisata Camplong yang dikelola Surabaya Inn Group ini juga
dilengkapi kolam renang, dan tempat bermain anak-anak. Di sana
wisatawan juga bisa belanja suvenir serta kudapan dan minuman yang
disediakan pedagang.
Untuk menuju ke objek wisata ini pengunjung tidak terlalu sulit,
karena letaknya berada di jalur utama Madura. Wisatawan bisa menumpang
kendaraan umum Sampang-Pamekasan atau berasyik-asyik naik dokar.
Ongkos naik mobil penumpang umum (MPU) dari Sampang Rp 500,00 dan
dokar Rp 3.000,00.
Sedangkan air terjun Toroan di Ketapang dan Pantai Nipah masih
dibiarkan tetap “perawan”. Padahal kedua objek itu juga mempunyai daya
tarik tersendiri. Air terjun Toroan yang mengucurkan air langsung ke
pantai Laut Jawa masih dibiarkan apa adanya.

Sedangkan Pantai Nipah yang berhutan pantai dan dihuni sekawanan kera
masih dibiarkan apa adanya. Padahal objek ini bisa dijadikan tontonan
menarik.
Nasib serupa juga dialami Pantai Siring Kemuning di Bangkalan,
Talangsiring, dan Jumiang di Pamekasan, serta Slopeng dan Lombang di
Sumenep. Pantai-pantai itu hingga kini masih dibiarkan apa adanya.
Pantai Siring Kemuning, Talangsiring, dan Slopeng sebenarnya pernah
disentuh Pemda setempat. Pantai Siring Kemuning telah dilengkapi gardu
pandang dan tempat bermain anak-anak. Tapi karena belum bisa menarik
wisatawan, keadaan pantai itu kini memprihatinkan.
Begitu pula Pantai Talangsiring di Pamekasan, objek wisata yang telah
dibangun Pemda setempat pada 1983 itu kini telantar. Padahal letak
pantai ini sebenarnya strategis karena berada di jalur utama Madura.
Apalagi Pantai Jumiang yang letaknya jauh dari jalur utama Madura
masih dibiarkan “perawan”. Untuk mendukung objek wisata ini Pemda
setempat baru mendukung jalan.
Sedangkan Pantai Slopeng yang berada di Kec. Dasuk, Kab. Sumenep yang
telah dilengkapi pondok wisata juga belum bisa menarik wisatawan.
Padahal tarif kamar yang dikelola UD Sumekar itu cuma Rp 15 ribu.
Pantai-pantai di Madura itu hanya ramai dikunjungi wisatawan lokal
saat Lebaran Ketupat (tujuh hari setelah Idul Fitri). Kesempatan ini
yang digunakan Pemda untuk ajang promosi dengan menggelar panggung
terbuka musik dangdut.
Pantai Lombang
Pantai yang kini memperoleh perhatian khusus Pemda Kab. Sumenep adalah
Lombang. Untuk mengembangkan pantai di Kec. Batang-Batang ini pemda
menjalin kerja sama dengan swasta.
Pantai Laut Jawa yang masih perawan ini mempunyai panorama alam yang
sangat indah. Lokasinya sekitar 30 km arah timur laut Kota Sumenep.
Pasir pantainya yang putih dan bersih cocok untuk menjemur badan. Di
pantai sepanjang 12 km ini wisatawan juga bisa menikmati matahari
terbit atau terbenam.
Ciri khas Pantai Lombang adalah “hutan” cemara udang. Tanaman yang
termasuk langka ini menjadi ciri khas Pantai Lombang karena jarang
didapati di daerah lain.
Sekwilda Kab. Sumenep, Drs H Dwiatmo Hadiyanto mengatakan, gagasan
pemda untuk mengembangkan Pantai Lombang ini telah mendapatkan
dukungan dari Montana Group. Investor putra daerah itu berencana
membangun cottage dan mini golf.
Rencananya Montana Group akan membebaskan lahan seluas 60 hektare.
Sayang, setelah membebaskan sebagian lahan, investor itu menghentikan
kegiatannya. Sampai kini Dwiatmo belum mengetahui kelanjutan rencana
itu.

Diperoleh keterangan, sejak ada rencana Pantai Lombang akan
dikembangkan menjadi kawasan wisata, penduduk setempat merasa
keberatan. Mereka –meski dengan cara pasif– menolak pembangunan
wisata di sana.
Sejumlah penduduk setempat melakukan aksi tahlil akbar di Pantai
Lombang. Dalam kesempatan itu mereka berikrar: “Masyarakat Madura
tidak menolak pembangunan wisata, tapi menolak kedatangan
kemaksiatan”.
Setelah terjadinya aksi itu Pemda Kab. Sumenep maupun investor saling
mawas diri. Investor menghentikan sementara kegiatannya sedangkan
Bupati Sumenep, Sukarno Marsaid, merencanakan membentuk Dewan
Pariwisata Daerah.
Dewan Pariwisata Daerah yang anggotanya akan melibatkan para ulama dan
tokoh masyarakat itu nantinya akan berfungsi mendampingi Dinas
Pariwisata Daerah setempat. Sehingga pengembangan wisata di Sumenep
bisa berkembang sesuai keinginan pemda dan bisa diterima masyarakat
setempat.
Sekwilda Kab. Sumenep ketika menerima peserta Wisata Pers 1996, Rabu
(24/1), mengakui jika pengelolaan pariwisata di daerahnya belum
optimal. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumenep setiap tahunnya
rata-rata 200 orang dengan lama tinggal antara 1-3 hari.Pendapatan
daerah dari subsektor pariwisata baru Rp 6 juta/tahun. Pendapatan ini
berasal dari retribusi wisatawan yang masuk museum Keraton Sumenep.
Sedangkan makam Asta tinggi yang banyak dikunjungi wisatawan nusantara
hingga kini masih dikelola pihak keluarga.
Minimnya pendapatan dari subsektor pariwisata ini juga dialami Kab.
Sampang, yakni hanya Rp 9 juta/tahun. Pendapatan itu diperoleh dari
retribusi masuk kawasan wisata Pantai Camplong. Padahal untuk
membangun objek ini pemda setempat telah mengeluarkan dana Rp 250
juta.
“Objek wisata di Madura sebenarnya banyak tapi kondisinya belum
marak,” kata Bupati Sampang, H Fadhilah Budiono, ketika menerima
peserta Wisata Pers 1996 di peringgitan pendapa Kab. Sampang, Jumat
lalu.
Selain objek-objek wisata berpanorama alam pantai, Madura juga
memiliki objek wisata sejarah dan budaya. Di antaranya, atraksi
kerapan sapi dan sapi sonok yang terdapat hampir di seluruh desa.
Atraksi yang telah menjadi ciri khas Madura ini bisa disaksikan antara
Agustus-Oktober setiap tahunnya. Sedangkan acara puncak dilaksanakan
di Pamekasan.
Atraksi lainnya, tari topeng dalang, serta tari pecut di Sumenep.
Sedangkan objek wisata sejarah di antaranya makam Aer Mata Ebu di
Bangkalan, makam Ratu Ebu di Madegan Sampang, serta makam Asta Tinggi
di Sumenep.
Kendala utama pengembangan wisata di Madura kata Bupati Sampang karena
belum terbangunnya Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang bakal
menghubungkan Surabaya-Kamal.

Ia yakin jika jembatan itu terwujud, kondisi Madura akan jauh berubah.
“Masak akan berwisata harus bersusah-susah dulu,” kata Fadhilah
Budiono tentang kondisi Madura saat ini.

Kondisi penyeberangan Surabaya-Kamal sekarang –khususnya pada
hari-hari libur– selalu membentuk antrean mobil yang panjang. Calon
penyeberang terkadang bisa terjebak dalam antrean itu sekitar 2 jam.
Akar masalah lain yang juga menjadi kendala adalah sumber daya manusia
(SDM). Masyarakat Madura tampaknya belum mau mengawali melakukan
kegiatan wisata.
“Padahal kalau bukan orang Madura, siapa lagi yang harus memulai,”
kata mantan Kapolres Probolinggo ini. Ia memberikan contoh, peternakan
ayam bekisar yang sebenarnya bisa dijadikan andalan Madura kini malah
ditekuni orang Bali.
Fadhilah menyadari untuk membangun industri pariwisata di Madura perlu
sosialisasi terlebih dulu. “Tentu saja ini membutuhkan waktu yang
cukup lama. Keberadaan gedung bioskop di Sampang saja masih
ditentang,” katanya.
Tidak Dilarang
Benarkah Madura menolak industri pariwisata? Pengasuh Pondok Pesantren
Karongan Sampang, KH Alawy Muhammad, ketika ditemui wartawan di
peringgitan pendapa Sampang, Jumat lalu mengatakan, ulama tidak
melarang industri pariwisata masuk ke Madura. Syaratnya, asal tidak
membawa dampak kegiatan yang merugikan agama dan budaya Madura.
Didesak tentang kedekatannya industri pariwisata dengan dampak
kemaksiatan yang bakal timbul, Kiai Alawy secara diplomatis menjawab,
“Kemaksiatan bisa terjadi di mana-mana. Bisa di dalam industri
pariwisata atau di luar itu.”
Sedangkan ketika disinggung tentang belum adanya gedung bioskop di
Sampang, kiai menjelaskan karena kondisi masyarakatnya yang belum
siap. Tapi jika masyarakatnya sudah siap, tentu akan bisa menerimanya.
Kondisi yang dilematis ini agaknya yang juga menjadi salah satu
kendala pengembangan wisata Madura. Bahkan Pemda Kab. Bakalan dan
Pamekasan terkesan kurang greget.
Bupati Bangkalan, Djakfar Syafei, merasa pesimistis untuk
mengembangkan wisata di daerahnya. Begitu pula Bupati Pamekasan,
Subagio. Sehingga untuk mengembangkan wisata di Pamekasan masih
menunggu perkembangan Madura di masa mendatang.
Sedangkan Bupati Sumenep, Sukarno Marsaid, meski menyadari kendala itu
terus menghalang mengatakan, Pemda kini terus berupaya mengembangkan
potensi wisata Sumenep yang kaya itu. Tahun ini Pemda telah bekerja
sama dengan Vaya Tour mengemas paket wisata Madura untuk wisatawan
mancanegara.
Dalam setahun itu telah dijadwalkan 17 kali kunjungan. Setiap
rombongan yang bakal berkunjung sekitar 100 wisatawan. Wisatawan asal
Eropa dan AS itu bakal datang dengan kapal laut.
Para wisatawan itu bakal menikmati paket wisata Sumenep berupa atraksi
kerapan sapi, tari pecut, mengunjungi makam raja-raja Sumenep di Asta
Tinggi, dan melakukan wisata kota (city tour) untuk belanja hasil
kerajinan industri kecil yang banyak terdapat di kota paling ujung
timur Madura ini.
Paket kunjungan wisata ini telah berjalan lima kali. “Awalnya
wisatawan itu jadi tontonan, tapi lama-lama masyarakat Sumenep menjadi
terbiasa,” kata Sekwilda Kab. Sumenep, Dwiarmo Hadiyanto. (Musyawir)

Tidak ada postingan.
Tidak ada postingan.